Teologi Hubungan Manusia dengan Alam
Krisis lingkungan saat ini sudah sampai pada tahap yang serius dan mengancam eksitensi planet bumi di mana manusia, hewan dan tumbuhan bertempat tinggal dan melanjutkan kehidupannya. Manusia modern dewasa ini sedang melakukan perusakan secara perlahan akan tetapi pasti terhadap sistem lingkungan yang menopang kehidupannya. Kerusakan lingkungan baik dalam skala global maupun lokal termasuk di negara kita hingga saat ini sudah semakin parah. Indikator kerusakan lingkungan terutama yang diakibatkan oleh degradasi lahan cukup nyata didepan mata dan sudah sangat sering kita alami seperti banjir tahunan yang semakin besar dan meluas, erosi dan pendangkalan (sedimentasi) sungai dan danau, tanah longsor, kelangkaan air (kuantitas dan kualitasnya) yang berakibat terjadinya kasus kelaparan di beberapa daerah dinegara kita dan beberapa negara lain. Polusi air dan udara, pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dunia, mencairnya salju di wilayah kutub utara dan selatan, kerusakan keragaman hayati, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan serta ledakan hama dan penyakit merupakan gejala lain yang tak kalah serius yang sedang mengancam kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan diplanet bumi ini. Mewabahnya penyakit hewan dan manusia yang mematikan akhir-akhir ini seperti demam berdarah, flu burung hingga HIV, sebenarnya juga merupakan akibat akibat dan dampak dari telah terjadinya gangguan kesetimbangan dan kerusakan lingkungan fisik maupun non-fisik di permukaan bumi.
Berbagai kasus kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup global maupun nasional, jika dicermati, sebenarnya berakar dari pandangan manusia tentang alam dan lingkungannya. Perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap alam itulah yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Sebagai contoh dalam lingkup lokal, pencemaran lingkungan yang terjadi di Sumatera Utara oleh PT. Inti Indorayon Utama, kerusakan lingkungan dan pencemaran di Irian Jaya oleh PT. Freeport Indonesia, serta kerusakan hutan akibat penebangan yang illegal, merupakan contoh perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan di permukaan bumi ini. Peningkatan jumlah penduduk dunia yang sangat pesat, telah mengakibatkan terjadinya eksploitasi intensif (berlebihan) terhadap sumberdaya alam yang akibatnya ikut memacu terjadinya kerusakan lingkungan terutama yang berupa degradasi lahan. Padahal lahan dengan sumberdayanya berfungsi sebagai penyangga kehidupan hewan dan tumbuhan termasuk manusia. Orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat berpengaruh. Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem lingkungannya, mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi dunia saat ini. Cara pandang dikhotomis yang yang dipengaruhi oleh paham antroposentrisme yang memandang bahwa alam merupakan bagian terpisah dari manusia dan bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan (White,,1967, Ravetz,1971, Sardar, 1984, Mansoor, 1993 dan Naess, 1993). Cara pandang demikian telah melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya. Disamping itu paham materialisme, kapitalisme dan pragmatisme dengan kendaraan sain dan teknologi telah ikut pula mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan baik dalam lingkup global maupun lokal, termasuk di negara kita.
Naess (1993) salah seorang penganjur ekosentrisme dan deep ecology pernah menyatakan bahwa krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini hanya bisa diatasi dengan merubah secara fundamental dan radikal cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya. Tindakan praktis dan teknis penyelamatan lingkungan dengan bantuan sain dan teknologi ternyata bukan merupakan solusi yang tepat. Yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku dan gaya hidup yang bukan hanya orang perorang, akan tetapi harus menjadi semacam budaya masyarakat secara luas. Dengan kata lain dibutuhkan perubahan pemahaman baru tentang hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya yang akan bisa melandasi perilaku manusia terhadap alam.
Agama terutama Islam sebenarnya mempunyai pandangan (konsep) yang sangat jelas tentang hubungan manusia dengan alam ini. Islam merupakan agama yang memandang lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Tuhan. Dengan kata lain, perilaku manusia terhadap alam lingkungannya merupakan manifestasi dari keimanan seseorang. Dalam Islam, menjaga alam dan memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga dan memelihara kehidupan di alam, dan hukumnya wajib bagi siapapun seperti wajibnya mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa dibulan romadhan dan berhaji. Islam merupakan agama yang amat peduli lingkungan (eco-friendly), baik lingkungnan alam maupun lingkungan sosial. Konsep Islam tentang lingkungan ini ternyata sebagian telah diadopsi dan menjadi prinsip etika lingkungan yang dikembangkan oleh para ilmuwan lingkungan. Akan tetapi konsep (ajaran) Islam yang sangat jelas ini tampaknya masih belum banyak dipahami apalagi dijadikan pedoman dalam bersikap dan berperilaku terhadap lingkungannya oleh sebagian besar umat Islam yang jumlah nya tak kurang dari spertiga penduduk dunia. Hal ini ditandai dari kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup nasional maupun global, ternyata sebagian besar terjadi di lingkungan yang mayoritas penduduknya muslim. Atau barangkali dalam hal ini disebabkan oleh terjadinya kesalahan dalam pemahaman ajaran agama serta cara pendekatan yang dipilih oleh para pemeluk Islam di negara kita khususnya dan juga umat islam pada umumnya ?.
Uraian singkat berikut merupakan upaya pencarian jawaban tersebut, sekaligus merupakan sebuah upaya menggali kembali konsep (ajaran) Islam yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan alam, yang bisa menjadi landasan terbangunnya konsep etika lingkungan. Konsep (ajaran) Islam ini diharapkan bisa menjadi dasar pijakan moral dan spiritual (moral and spiritual base) dalam upaya penyelamatan lingkungan sudah sangat kritis dewasa ini.
Upaya-upaya praktis penyelamatan lingkungan dengan memanfaatkan kemajuan sain dan teknologi rupanya tidak cukup untuk mengendalikan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia. Permasalahan lingkungan ternyata bukan hanya masalah teknis ekologi semata, akan tetapi juga menyangkut teologi. Permasalahan yang menyangkut lingkungan sangat komplek serta multi dimensi. Oleh karena itu nilai-nilai agama (ad-diin) yang juga bersifat multi-dimensi bisa digunakan sebagai landasan berpijak dalam upaya penyelamatan lingkungan.
Krisis lingkungan saat ini sudah sampai pada tahap yang serius dan mengancam eksitensi planet bumi di mana manusia, hewan dan tumbuhan bertempat tinggal dan melanjutkan kehidupannya. Manusia modern dewasa ini sedang melakukan perusakan secara perlahan akan tetapi pasti terhadap sistem lingkungan yang menopang kehidupannya. Kerusakan lingkungan baik dalam skala global maupun lokal termasuk di negara kita hingga saat ini sudah semakin parah. Indikator kerusakan lingkungan terutama yang diakibatkan oleh degradasi lahan cukup nyata didepan mata dan sudah sangat sering kita alami seperti banjir tahunan yang semakin besar dan meluas, erosi dan pendangkalan (sedimentasi) sungai dan danau, tanah longsor, kelangkaan air (kuantitas dan kualitasnya) yang berakibat terjadinya kasus kelaparan di beberapa daerah dinegara kita dan beberapa negara lain. Polusi air dan udara, pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dunia, mencairnya salju di wilayah kutub utara dan selatan, kerusakan keragaman hayati, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan serta ledakan hama dan penyakit merupakan gejala lain yang tak kalah serius yang sedang mengancam kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan diplanet bumi ini. Mewabahnya penyakit hewan dan manusia yang mematikan akhir-akhir ini seperti demam berdarah, flu burung hingga HIV, sebenarnya juga merupakan akibat akibat dan dampak dari telah terjadinya gangguan kesetimbangan dan kerusakan lingkungan fisik maupun non-fisik di permukaan bumi.
Berbagai kasus kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup global maupun nasional, jika dicermati, sebenarnya berakar dari pandangan manusia tentang alam dan lingkungannya. Perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap alam itulah yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Sebagai contoh dalam lingkup lokal, pencemaran lingkungan yang terjadi di Sumatera Utara oleh PT. Inti Indorayon Utama, kerusakan lingkungan dan pencemaran di Irian Jaya oleh PT. Freeport Indonesia, serta kerusakan hutan akibat penebangan yang illegal, merupakan contoh perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan di permukaan bumi ini. Peningkatan jumlah penduduk dunia yang sangat pesat, telah mengakibatkan terjadinya eksploitasi intensif (berlebihan) terhadap sumberdaya alam yang akibatnya ikut memacu terjadinya kerusakan lingkungan terutama yang berupa degradasi lahan. Padahal lahan dengan sumberdayanya berfungsi sebagai penyangga kehidupan hewan dan tumbuhan termasuk manusia. Orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat berpengaruh. Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem lingkungannya, mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi dunia saat ini. Cara pandang dikhotomis yang yang dipengaruhi oleh paham antroposentrisme yang memandang bahwa alam merupakan bagian terpisah dari manusia dan bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan (White,,1967, Ravetz,1971, Sardar, 1984, Mansoor, 1993 dan Naess, 1993). Cara pandang demikian telah melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya. Disamping itu paham materialisme, kapitalisme dan pragmatisme dengan kendaraan sain dan teknologi telah ikut pula mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan baik dalam lingkup global maupun lokal, termasuk di negara kita.
Naess (1993) salah seorang penganjur ekosentrisme dan deep ecology pernah menyatakan bahwa krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini hanya bisa diatasi dengan merubah secara fundamental dan radikal cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya. Tindakan praktis dan teknis penyelamatan lingkungan dengan bantuan sain dan teknologi ternyata bukan merupakan solusi yang tepat. Yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku dan gaya hidup yang bukan hanya orang perorang, akan tetapi harus menjadi semacam budaya masyarakat secara luas. Dengan kata lain dibutuhkan perubahan pemahaman baru tentang hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya yang akan bisa melandasi perilaku manusia terhadap alam.
Agama terutama Islam sebenarnya mempunyai pandangan (konsep) yang sangat jelas tentang hubungan manusia dengan alam ini. Islam merupakan agama yang memandang lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Tuhan. Dengan kata lain, perilaku manusia terhadap alam lingkungannya merupakan manifestasi dari keimanan seseorang. Dalam Islam, menjaga alam dan memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga dan memelihara kehidupan di alam, dan hukumnya wajib bagi siapapun seperti wajibnya mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa dibulan romadhan dan berhaji. Islam merupakan agama yang amat peduli lingkungan (eco-friendly), baik lingkungnan alam maupun lingkungan sosial. Konsep Islam tentang lingkungan ini ternyata sebagian telah diadopsi dan menjadi prinsip etika lingkungan yang dikembangkan oleh para ilmuwan lingkungan. Akan tetapi konsep (ajaran) Islam yang sangat jelas ini tampaknya masih belum banyak dipahami apalagi dijadikan pedoman dalam bersikap dan berperilaku terhadap lingkungannya oleh sebagian besar umat Islam yang jumlah nya tak kurang dari spertiga penduduk dunia. Hal ini ditandai dari kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup nasional maupun global, ternyata sebagian besar terjadi di lingkungan yang mayoritas penduduknya muslim. Atau barangkali dalam hal ini disebabkan oleh terjadinya kesalahan dalam pemahaman ajaran agama serta cara pendekatan yang dipilih oleh para pemeluk Islam di negara kita khususnya dan juga umat islam pada umumnya ?.
Uraian singkat berikut merupakan upaya pencarian jawaban tersebut, sekaligus merupakan sebuah upaya menggali kembali konsep (ajaran) Islam yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan alam, yang bisa menjadi landasan terbangunnya konsep etika lingkungan. Konsep (ajaran) Islam ini diharapkan bisa menjadi dasar pijakan moral dan spiritual (moral and spiritual base) dalam upaya penyelamatan lingkungan sudah sangat kritis dewasa ini.
Upaya-upaya praktis penyelamatan lingkungan dengan memanfaatkan kemajuan sain dan teknologi rupanya tidak cukup untuk mengendalikan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia. Permasalahan lingkungan ternyata bukan hanya masalah teknis ekologi semata, akan tetapi juga menyangkut teologi. Permasalahan yang menyangkut lingkungan sangat komplek serta multi dimensi. Oleh karena itu nilai-nilai agama (ad-diin) yang juga bersifat multi-dimensi bisa digunakan sebagai landasan berpijak dalam upaya penyelamatan lingkungan.
Teologi dalam konteks hubungan manusia dengan alam ini dimaknai sebagai nilai atau ajaran agama yang berkaitan dengan eksistensi atau keberadaan Tuhan, tidak dimaknai sebagai suatu cabang atau bagian dari ilmu-ilmu agama terutama yang membahas tentang ketuhanan. Makna bebas teologi dalam konteks ini adalah : cara “menghadirkan” Tuhan dalam setiap aspek kegiatan manusia, termasuk kegiatan manusia dalam berhubungan dengan alam, pemanfaatan sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan.
Pengelolaan lingkungan adalah salah satu kegiatan sekaligus tugas manusia. Oleh karena itu pertanyaan yang bisa diajukan berkaitan dengan hal ini adalah : Apakah dalam melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam, manusia telah “menghadirkan” Tuhan, atau sebaliknya Tuhan ditinggalkan atau malah “dicampakkan“?. Dengan perkataan yang lain: Tuhan ada dimana pada saat manusia melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam ?.
Dalam bahasa yang lebih “akademis”, teologi bisa dimaknai sebagai sebuah konsep berpikir dan bertindak yang dihubungkan dengan “Yang Ghoib” yang menciptakan sekaligus mengatur manusia dan alam (lingkungannya). Jadi terdapat tiga pusat perhatian dalam bahasan ini yakni : Tuhan, manusia dan alam yang ketiganya merupakan “satu kesatuan” hubungan yang tidak hanya bersifat fungsional, akan tetapi juga yang bersifat spiritual. Dengan demikian teologi dapat dimaknai sebagai sebuah konsep berpikir dan bertindak manusia yang berkaitan dengan lingkungan hidupnya dengan mengintegrasikan aspek fisik (alam) termasuk manusia dan yang non fisik (Yang Maha Menciptakan alam).
Alam semesta termasuk bumi seisinya adalah ciptaan Tuhan dan diciptakan dalam kesetimbangan, proporsional dan terukur atau mempunyai ukuran-ukuran, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (QS:ar Ra’d: 8; al Qomar : 49 dan al Hijr:19). Bumi yang merupakan planet dimana manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya terdiri atas berbagai unsur dan elemen dengan keragaman yang sangat besar dalam bentuk, proses dan fungsinya. Berbagai unsur dan elemen yang membentuk alam tersebut diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam menjalankan kehidupannya di muka bumi, sekaligus merupakan bukti ke Mahakuasaan dan Kemahabesaran Sang Pencipta dan Pemelihara alam (Qs: Ta-Ha; 53-54). Dialah yang menentukan dan mentaqdirkan segala sesuatu di alam semesta. Tidak ada sesuatu di alam ini kecuali mereka tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum dan qadar Tuhan serta berserah diri dan memujiNya (QS:an Nur:41).
Alam merupakan sebuah entitas atau realitas (empirik= bisa diamati dan dirasakan) yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan manusia dan dengan realitas yang lain Yang Ghaib dan supra-empirik. Alam sekaligus merupakan representasi atau manifestasi dari Yang Maha Menciptakan alam dan Yang Maha Benar, yang melampauinya dan melingkupinya yang sekaligus merupakan Sumber keberadaan alam itu sendiri. Realitas alam ini tidak diciptakan dengan ketidak sengajaan (kebetulan atau main-main atau bathil) sebagaimana pandangan beberapa saintis barat, akan tetapi dengan nilai dan tujuan tertentu dan dengan kebenaran (Q.S Al-An’am: 73; Shaad:27; Al Dukhaan: 38-39, Ali Imran:191-192). Oleh karena itu menurut pandangan Islam, alam mempunyai eksistensi riil, objektif serta bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku tetap (qadar) bagi alam, yang dalam bahasa agama sering pula disebut sebagai hukum Allah (sunnatullah). Sebagai contoh, batu hukumnya atau qadarnya adalah benda padat, sedangkan air adalah benda cair. Batu tak akan pernah bisa berubah menjadi benda cair kecuali kalau batu tersebut dihaluskan hingga menjadi partikel yang sangat kecil dan dicampur dengan benda cair misalnya air. Inilah yang dimaksud dengan hukum atau qadar Tuhan yang berlaku tetap. Sunnatullah ini tidak hanya berlaku bagi benda-benda alam, akan tetapi juga bagi manusia.
Pandangan Islam tidak sama dengan pandangan kaum idealis yang menyatakan bahwa alam adalah semu dan maya atau pancaran dari dunia lain yang tak konkrit yang disebut dunia idea. Pandangan Islam tentang alam (lingkungan hidup) bersifat menyatu (holistik) yang komponennya adalah Sang Pencipta, alam dan makhluk hidup (termasuk manusia). Masing-masing komponen mempunyai peran dan kedudukan yang berbeda-beda akan tetapi tetap berada dalam koridor rancangan atau disain Allah (sunantullah).
Manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan manusia di alam adalah saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya dengan peran yang berbeda-beda. Manusia mempunyai peran dan posisi khusus diantara komponen alam dan makhluq ciptaan Tuhan yang lain yakni sebagai khalifah, wakil Tuhan dan pemimpin di bumi ( QS: Al An’am:165). Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan hidupnya ini ditegaskan dalam beberapa ayat al Qur’an dan Hadist Nabi yang intinya adalah :
Pengelolaan lingkungan adalah salah satu kegiatan sekaligus tugas manusia. Oleh karena itu pertanyaan yang bisa diajukan berkaitan dengan hal ini adalah : Apakah dalam melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam, manusia telah “menghadirkan” Tuhan, atau sebaliknya Tuhan ditinggalkan atau malah “dicampakkan“?. Dengan perkataan yang lain: Tuhan ada dimana pada saat manusia melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam ?.
Dalam bahasa yang lebih “akademis”, teologi bisa dimaknai sebagai sebuah konsep berpikir dan bertindak yang dihubungkan dengan “Yang Ghoib” yang menciptakan sekaligus mengatur manusia dan alam (lingkungannya). Jadi terdapat tiga pusat perhatian dalam bahasan ini yakni : Tuhan, manusia dan alam yang ketiganya merupakan “satu kesatuan” hubungan yang tidak hanya bersifat fungsional, akan tetapi juga yang bersifat spiritual. Dengan demikian teologi dapat dimaknai sebagai sebuah konsep berpikir dan bertindak manusia yang berkaitan dengan lingkungan hidupnya dengan mengintegrasikan aspek fisik (alam) termasuk manusia dan yang non fisik (Yang Maha Menciptakan alam).
Alam semesta termasuk bumi seisinya adalah ciptaan Tuhan dan diciptakan dalam kesetimbangan, proporsional dan terukur atau mempunyai ukuran-ukuran, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (QS:ar Ra’d: 8; al Qomar : 49 dan al Hijr:19). Bumi yang merupakan planet dimana manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya terdiri atas berbagai unsur dan elemen dengan keragaman yang sangat besar dalam bentuk, proses dan fungsinya. Berbagai unsur dan elemen yang membentuk alam tersebut diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam menjalankan kehidupannya di muka bumi, sekaligus merupakan bukti ke Mahakuasaan dan Kemahabesaran Sang Pencipta dan Pemelihara alam (Qs: Ta-Ha; 53-54). Dialah yang menentukan dan mentaqdirkan segala sesuatu di alam semesta. Tidak ada sesuatu di alam ini kecuali mereka tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum dan qadar Tuhan serta berserah diri dan memujiNya (QS:an Nur:41).
Alam merupakan sebuah entitas atau realitas (empirik= bisa diamati dan dirasakan) yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan manusia dan dengan realitas yang lain Yang Ghaib dan supra-empirik. Alam sekaligus merupakan representasi atau manifestasi dari Yang Maha Menciptakan alam dan Yang Maha Benar, yang melampauinya dan melingkupinya yang sekaligus merupakan Sumber keberadaan alam itu sendiri. Realitas alam ini tidak diciptakan dengan ketidak sengajaan (kebetulan atau main-main atau bathil) sebagaimana pandangan beberapa saintis barat, akan tetapi dengan nilai dan tujuan tertentu dan dengan kebenaran (Q.S Al-An’am: 73; Shaad:27; Al Dukhaan: 38-39, Ali Imran:191-192). Oleh karena itu menurut pandangan Islam, alam mempunyai eksistensi riil, objektif serta bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku tetap (qadar) bagi alam, yang dalam bahasa agama sering pula disebut sebagai hukum Allah (sunnatullah). Sebagai contoh, batu hukumnya atau qadarnya adalah benda padat, sedangkan air adalah benda cair. Batu tak akan pernah bisa berubah menjadi benda cair kecuali kalau batu tersebut dihaluskan hingga menjadi partikel yang sangat kecil dan dicampur dengan benda cair misalnya air. Inilah yang dimaksud dengan hukum atau qadar Tuhan yang berlaku tetap. Sunnatullah ini tidak hanya berlaku bagi benda-benda alam, akan tetapi juga bagi manusia.
Pandangan Islam tidak sama dengan pandangan kaum idealis yang menyatakan bahwa alam adalah semu dan maya atau pancaran dari dunia lain yang tak konkrit yang disebut dunia idea. Pandangan Islam tentang alam (lingkungan hidup) bersifat menyatu (holistik) yang komponennya adalah Sang Pencipta, alam dan makhluk hidup (termasuk manusia). Masing-masing komponen mempunyai peran dan kedudukan yang berbeda-beda akan tetapi tetap berada dalam koridor rancangan atau disain Allah (sunantullah).
Manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan manusia di alam adalah saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya dengan peran yang berbeda-beda. Manusia mempunyai peran dan posisi khusus diantara komponen alam dan makhluq ciptaan Tuhan yang lain yakni sebagai khalifah, wakil Tuhan dan pemimpin di bumi ( QS: Al An’am:165). Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan hidupnya ini ditegaskan dalam beberapa ayat al Qur’an dan Hadist Nabi yang intinya adalah :
1) Hubungan keimanan dan peribadatan. Alam semesta berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal kebesaran dan kekuasaan Tuhan (beriman kepada Tuhan) melalui alam semesta, karena alam semesta adalah tanda atau ayat-ayat Allah. Manusia dilarang memperhamba alam dan dilarang menyembah kecuali kepada Allah yang Menciptakan alam.
2) Hubungan pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam dengan segala sumberdayanya diciptakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna menunjang kehidupannya ini harus dilakukan secara wajar (tidak boleh berlebihan). Demikian pula tidak diperkenankan pemanfaatan sumberdaya alam hanya untuk memenuhi kebutuhan bagi generasi saat ini sementara hak-hak pemanfaatan bagi generasi mendatang terabaikan. Manusia dilarang pula melakukan penyalahgunaan pemanfaatan dan atau perubahan alam dan sumberdaya alam untuk kepentingan tertentu sehingga hak pemanfatatannya bagi semua kehidupan menjadi berkurang atau hilang.
3) Hubungan pemeliharaan. Manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara alam untuk keberlanjutan kehidupan, tidak hanya bagi manusia akan tetapi bagi semua makhluk hidup yang lainnya. Tindakan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan dan mengabaikan asas konservasi sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan, merupakan perbuatan yang dilarang (haram) dan akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya manusia yang mampu menjalankan peran pemeliharaan alam ini dengan baik, maka baginya tersedia ganjaran dari Allh swt.
2) Hubungan pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam dengan segala sumberdayanya diciptakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna menunjang kehidupannya ini harus dilakukan secara wajar (tidak boleh berlebihan). Demikian pula tidak diperkenankan pemanfaatan sumberdaya alam hanya untuk memenuhi kebutuhan bagi generasi saat ini sementara hak-hak pemanfaatan bagi generasi mendatang terabaikan. Manusia dilarang pula melakukan penyalahgunaan pemanfaatan dan atau perubahan alam dan sumberdaya alam untuk kepentingan tertentu sehingga hak pemanfatatannya bagi semua kehidupan menjadi berkurang atau hilang.
3) Hubungan pemeliharaan. Manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara alam untuk keberlanjutan kehidupan, tidak hanya bagi manusia akan tetapi bagi semua makhluk hidup yang lainnya. Tindakan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan dan mengabaikan asas konservasi sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan, merupakan perbuatan yang dilarang (haram) dan akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya manusia yang mampu menjalankan peran pemeliharaan alam ini dengan baik, maka baginya tersedia ganjaran dari Allh swt.
Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, berhubungan pula dengan alam sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam berhubungan dengan Tuhan ini manusia memerlukan alam sebagai sarana untuk mengenal dan memahami Tuhan (yakni: alam adalah ayat-ayat kauniah Tuhan). Manusia juga memerlukan alam (misalnya: papan, pangan, sandang, alat transportasi dan sebagainya) sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah swt. Hubungan manusia–alam ini adalah bentuk hubungan peran dan fungsi, bukan hubungan sub-ordinat (yakni: manusia adalah penguasa alam) sebagaimana pahamnya penganut antroposentrisme dan kaum materialis. Sementara itu alam berhubungan pula dengan Tuhan yang menciptakannya dan mengaturnya. Jadi alampun tunduk terhadap ketentuan atau hukum-hukum atau qadar yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Memelihara alam. Agar manusia bisa memahami alam dengan segala hukum-hukumnya, manusia harus mempunyai pengetahuan dan ilmu tentang alam. Dengan demikian, upaya manusia untuk bisa memahami alam dengan pengetahuan dan ilmu ini pada hakekatnya merupakan upaya manusia untuk mengenal dan mamahami yang Menciptakan dan Memelihara alam, agar bisa berhubungan denganNya.
Dalam pandangan Islam, manusia disamping sebagai salah satu makhluk Tuhan, ia sekaligus sebagai wakil (khalifah) Tuhan dimuka bumi (Al An’am: 165). Sebagai mahkluk Tuhan, manusia mempunyai tugas untuk mengabdi, menghamba (beribadah) kepada Penciptanya (al-Chaliq). Dalam penghambaan ini manusia tidak diperkenankan (haram) untuk mengabdi kepada selain Allah. Pengabdian atau penghambaan kepada selain Allah merupakan perbuatan syirk dan merupakan dosa besar. Dalam pengabdian ini terkandung konsep tauhid (peng Esaan) terhadap Tuhan. Dengan demikian, tauhid merupakan sumber nilai sekaligus etika yang pertama dan utama dalam hubungan antara manusia, alam dan Tuhan.
Sebagai wakil Allah, maka manusia harus bisa merepresentasikan peran Allah terhadap alam semesta termasuk bumi seisinya antara lain memelihara (al rab) dan menebarkan rakhmat ( rakhmatan) di alam semesta. Oleh karena itu kewajiban manusia terhadap alam dalam rangka pengabdiannya kepada Allah swt adalah melakukan pemeliharaan terhadap alam (termasuk pemeliharaan kehidupan diri = hifdzun nafs) untuk menjaga keberlangsungan kehidupan di alam. Untuk mempertahankan dan memenuhi hajat hidupnya, manusia diperkenankan oleh Tuhan untuk memanfaatkan segala sumberdaya alam secara wajar (sesuai dengan kebutuhan) dan bertanggungjawab. Segala sikap, perilaku atau perbuatan manusia (lahir dan batin) yang berkaitan dengan pemeliharaan alam harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan setelah kehidupan dunia ini berakhir. Islam melarang pemanfaatan alam (sumberdaya alam) yang melampaui batas atau berlebihan atau isyraf (Al An’am: 141-142). Pemanfaatan (eksploitasi) sumberdaya alam yang berlebihan akan menguras sumberdaya alam yang bersangkutan hingga habis tak tersisa, sehingga hak-hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang terabaikan. Hal ini merupakan perbuatan pelanggaran terhadap hukum atau ketetapan Tuhan sekaligus pelanggaran amanah, sehingga merupakan perbuatan dosa besar pula. Dalam aras praktis untuk menjaga kemanfaatan dan kelestarian alam (fungsi manfaat dan reproduksi), misalnya Rasulullah Muhammad SAW melarang memetik buah sebelum matang (ripe) dan siap dikonsumsi, melarang memetik bunga sebelum mekar dan menyembelih hewan ternak yang masih kecil dan belum berumur. Nabi juga mengajarkan agar manusia selalu bersahabat sekalipun terhadap makhluk yang tak beryawa. Istilah “penaklukan” atau “penguasaan” alam seperti yang dipelopori oleh pandangan Barat yang sekuler dan materialistik tidak dikenal dalam Islam. Islam menegaskan bahwa yang berhak untuk menguasai dan mengatur alam adalah Yang Maha menciptakan dan Maha Mengatur yakni Rab al alamiin.
Dalam pandangan Islam, manusia disamping sebagai salah satu makhluk Tuhan, ia sekaligus sebagai wakil (khalifah) Tuhan dimuka bumi (Al An’am: 165). Sebagai mahkluk Tuhan, manusia mempunyai tugas untuk mengabdi, menghamba (beribadah) kepada Penciptanya (al-Chaliq). Dalam penghambaan ini manusia tidak diperkenankan (haram) untuk mengabdi kepada selain Allah. Pengabdian atau penghambaan kepada selain Allah merupakan perbuatan syirk dan merupakan dosa besar. Dalam pengabdian ini terkandung konsep tauhid (peng Esaan) terhadap Tuhan. Dengan demikian, tauhid merupakan sumber nilai sekaligus etika yang pertama dan utama dalam hubungan antara manusia, alam dan Tuhan.
Sebagai wakil Allah, maka manusia harus bisa merepresentasikan peran Allah terhadap alam semesta termasuk bumi seisinya antara lain memelihara (al rab) dan menebarkan rakhmat ( rakhmatan) di alam semesta. Oleh karena itu kewajiban manusia terhadap alam dalam rangka pengabdiannya kepada Allah swt adalah melakukan pemeliharaan terhadap alam (termasuk pemeliharaan kehidupan diri = hifdzun nafs) untuk menjaga keberlangsungan kehidupan di alam. Untuk mempertahankan dan memenuhi hajat hidupnya, manusia diperkenankan oleh Tuhan untuk memanfaatkan segala sumberdaya alam secara wajar (sesuai dengan kebutuhan) dan bertanggungjawab. Segala sikap, perilaku atau perbuatan manusia (lahir dan batin) yang berkaitan dengan pemeliharaan alam harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan setelah kehidupan dunia ini berakhir. Islam melarang pemanfaatan alam (sumberdaya alam) yang melampaui batas atau berlebihan atau isyraf (Al An’am: 141-142). Pemanfaatan (eksploitasi) sumberdaya alam yang berlebihan akan menguras sumberdaya alam yang bersangkutan hingga habis tak tersisa, sehingga hak-hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang terabaikan. Hal ini merupakan perbuatan pelanggaran terhadap hukum atau ketetapan Tuhan sekaligus pelanggaran amanah, sehingga merupakan perbuatan dosa besar pula. Dalam aras praktis untuk menjaga kemanfaatan dan kelestarian alam (fungsi manfaat dan reproduksi), misalnya Rasulullah Muhammad SAW melarang memetik buah sebelum matang (ripe) dan siap dikonsumsi, melarang memetik bunga sebelum mekar dan menyembelih hewan ternak yang masih kecil dan belum berumur. Nabi juga mengajarkan agar manusia selalu bersahabat sekalipun terhadap makhluk yang tak beryawa. Istilah “penaklukan” atau “penguasaan” alam seperti yang dipelopori oleh pandangan Barat yang sekuler dan materialistik tidak dikenal dalam Islam. Islam menegaskan bahwa yang berhak untuk menguasai dan mengatur alam adalah Yang Maha menciptakan dan Maha Mengatur yakni Rab al alamiin.
Khatimah
Konsep hubungan manusia dengan alam sebagaimana telah dikemukakan di muka mengandung makna bahwa perlindungan dan pemeliharaan alam merupakan kewajiban asasi manusia yang telah dipilh oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Konsep tersebut mengandung pula makna penghargaan dan penghormatan terhadap saling keterkaitan setiap komponen dan aspek kehidupan di alam, pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan persaudaraan semua makhluk. Konsep tersebut menunjukkan pula bahwa etika (akhlak) harus menjadi landasan setiap perilaku (penalaran dan tindakan) manusia. Konsep hubungan manusia dengan alam tersebut sebenarnya juga merupakan salah satu pilar syari’ah Islam. Syari’ah yang bermakna lain as-syirath adalah sebuah “jalan” yang merupakan konsekuensi dari pernyataan atau persaksian (syahadah) tentang keesaan Tuhan (tauhid). Syari’ah adalah sebuah sistem pusat-nilai untuk mewujudkan nilai yang melekat dalam konsep (ajaran) pokok Islam yakni tauhid, khilafah dan amanah. Tujuan tertinggi dari sistem pusat nilai ini adalah kemaslahatan dan kesejahteraan (istishlah) universal (seluruh makhluk) saat ini (dunia) dan di masa depan (akhirat).Wallahu a’lam
Konsep hubungan manusia dengan alam sebagaimana telah dikemukakan di muka mengandung makna bahwa perlindungan dan pemeliharaan alam merupakan kewajiban asasi manusia yang telah dipilh oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Konsep tersebut mengandung pula makna penghargaan dan penghormatan terhadap saling keterkaitan setiap komponen dan aspek kehidupan di alam, pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan persaudaraan semua makhluk. Konsep tersebut menunjukkan pula bahwa etika (akhlak) harus menjadi landasan setiap perilaku (penalaran dan tindakan) manusia. Konsep hubungan manusia dengan alam tersebut sebenarnya juga merupakan salah satu pilar syari’ah Islam. Syari’ah yang bermakna lain as-syirath adalah sebuah “jalan” yang merupakan konsekuensi dari pernyataan atau persaksian (syahadah) tentang keesaan Tuhan (tauhid). Syari’ah adalah sebuah sistem pusat-nilai untuk mewujudkan nilai yang melekat dalam konsep (ajaran) pokok Islam yakni tauhid, khilafah dan amanah. Tujuan tertinggi dari sistem pusat nilai ini adalah kemaslahatan dan kesejahteraan (istishlah) universal (seluruh makhluk) saat ini (dunia) dan di masa depan (akhirat).Wallahu a’lam
Muhjidin Mawardi
LLH PP Muhammadiyah
LLH PP Muhammadiyah
http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?Itemid=9&id=1009&option=com_content&task=view
Tidak ada komentar:
Posting Komentar